Langsung ke konten utama

Kunci Bernilainya Amal Kebaikan Saat di Hisab Pada Hari Perhitungan




Akan tiba suatu masa, di mana berakhir kehidupan setiap yang bernyawa. Kemudian jasad dikembalikan kepada dzat asal mula diciptakan, ruh diangkat untuk menunggu waktu pertanggungjawaban kelak setelah tiba hari akhir. Tiada manusia yang bisa dengan jelas memastikan, bagaimana nasibnya esok saat hari perhitungan. Ada sebagian manusia yang merasa amalnya teramat cukup, padahal di sisi Allah tiada bernilai, hampa. Ada yang beruntung dengan segala ketaataannya, ada pula yang menyesal dengan semua kesia-siaannya sebab tidak memanfaatkan waktu yang diberikan. Ada yang menyambut massa perhitungan dengan senyum, ada yang menangis menggerung memohonkan ampunan.

Kelak di massa itu, semua tidak akan bisa lagi terulang. Semua sudah terekam, buku sudah ditutup catatannya. Setiap kita hanya bisa pasrah pada Allah, berharap Ke-Maha Baikkan Allah menilai amal perbuatan lebih berat daripada dosa keburukan. Berharap dengan Ke-Maha Pengampunnya Allah bersedia memaafkan segala kekurangan dan kekhilafan selama di dunia. Menunggu syafa’at dari baginda Rasulullah, pertolongan yang dijanjikan akan diberikan kepada orang-orang yang senantiasa berjuang menegakkan sunnahnya.

Dikala penantian surga yang belum tentu, hisab yang masih sangat menegangkan, alam kubur yang teramat menakutkan. Selagi masih diberi kesempatan di muka bumi, waktu untuk terus mengupayakan perbaikan-perbaikan, maka manfaatkanlah untuk terus memperbaiki diri, menuju ketaatan yang terbaik. Sebab kita masih terlalu dhaif untuk mengatahui kapan akan dicukupkan dan dipanggil pulang.

Tugas seorang hamba hanya semaksimal mungking berikhtiar, mengusahakan yang terbaik sebagai bekal menghadap Rabb Penguasa sekalian alam. Salah satu upaya agar kelak dihari perhitungan, berat amal kebaikan melebihi dosa-dosa keburukan ialah dengan mengikuti syariat yang sudah dituntuntan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tertuang dalam sebuah hadist dari Abu Hurairah, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi, yang sanadnya dishahihkan oleh Al-Hakim, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”

Shalat ialah indikator baik atau buruknya amalan yang lainnya. Jika baik shalat seseorang, maka dengan ketaatannya itu akan menghindarkannya dari berbuat keji dan munkar. Dengan rasa takut dan dekatnya pada Allah Subhanahu wa wa’ala, akan berdampak secara menyeluruh pada setiap sisi kehidupannya. Memaksimalkan amal sholeh dan menghindari amal salah. Terus berupaya meningkatkan ketaatan dan sejauh-jauhnya menghindari kemaksiatan.

Shalat yang baik ialah yang memiliki pengaruh pada diri dan pribadi seseorang. Bahwa semakin dekat dengan Allah, maka semakin berjaga-jaga ia dalam berperilaku. Bukan justeru sebaliknya.

Kualitas ibadah yang baik sudah tentu berpengaruh pada tindak-tanduk keseharian. Maka jika ibadah kita bukan justru menjadikan kita sebagai pribadi yang dicintai manusia, masih suka menebar kebencian, merusak hubungan, perlu segera mengoreksi dan introspeksi. Sudah benarkah shalat yang selama ini dikerjakan, atau hanya sebatas rutinitas tanpa berharap keridhaan dan petunjuk dari Allah.

Karena itu dengan tegas Rasulullah menyampaikan, bahwa amalan yang pertama kali dihisab ialah shalat kita, jika baik shalatnya, maka baik pula amalan yang lainnya. Namun jika rusak shalatnya, maka rusaklah pula semuanya. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dari Mu’adz, “Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak perkaranya adalah jihad.”

Shalat ialah tiang agama Islam. Maka jika pengibaratan Islam seperti sebuah bangunan, rapuhnya tiang akan berpotensi merubuhkan bangunan itu, sebesar apa pun bangunannya. Seindah apa pun isi di dalamnya, jika tiang tidak kokoh lagi kuat, maka bagian yang lain akan seperti sia-sia. Rubuhnya tersebab rusaknya tiang, akan menghancurkan seluruh isi bangunan.

Demikianlah hakikat shalat dalam kehidupan seorang muslim. Maka mari mulai saat ini, periksa kembali kualitas penghambaan kita kepada Allah. Sudahkah kita benar-benar menjalankan sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi, atau mendirikannya pun dengan hati yang bermalas-malasan.

Jika untuk menyembah dan mengabdi dengan sebenar-benarnya pun kita sulit, lantas apa pantas kita berharap ridha dan surga-Nya kelak di akhirat. Mari mulai malu pada dosa-dosa dan kesempatan yang belum kita tunaikan dengan sebaik-baik penghambaan. Malu jika kelak dipanggil, kita masih dalam keadaan dan kondisi yang kotor dan belum sempat bersih-bersih. Malu jika dihadapan Allah, kita dinilai seperti manusia yang tidak tau cara berterima kasih.

Sumber: hijaz.id

Komentar