Lepas Perang Hunain, Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan ghanimah (harta rampasan
perang) kepada Al-Aqra’ bin Habis dan ‘Uyainah bin Hishn. Keduanya
merupakan mualaf yang disegani semasa jahiliyahnya.
Selain kedua orang tersebut, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengutamakan pemberian kepada beberapa tokoh Quraisy.
Merespons tindakan Nabi tersebut, seorang
laki-laki yang menurut Imam Al-Bukhari adalah Dzul Khuwaishirah berkata
dengan lantang, “Demi Allah! Pembagian ini tidak adil dan tidak
dimaksudkan untuk mencari ridha Allah Ta’ala!”
Kepada laki-laki tersebut, sahabat mulia
‘Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu menyatakan, “Akan kusampaikan hal
itu kepada baginda Rasulullah.”
Sesampainya di hadapan Nabi, ‘Abdullah
bin Mas’ud menyampaikan kalimat protes dari Dzul Khuwaisirah. Raut muka
Nabi yang biasanya dihiasi senyum indah serta-merta berubah menjadi
kesumba merah.
“Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dianggap berbuat tidak adil?!” tegas Nabi.
Namun tak berselang lama dari kalimat tersebut, Nabi menyusulnya dengan kalimat pujian kepada Nabi Musa ‘Alaihis salam.
“Semoga Allah Ta’ala merahmati Musa ‘Alaihis salam. Ia telah diberi cobaan lebih dari itu, akan tetapi ia bersabar.”
Mahabenar Allah Ta’ala dengan semua
Firman-Nya. Tiada manusia yang paling benar dan jujur tuturnya, selain
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang terbukti shiddiq.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
hanyalah manusia biasa. Beliau memiliki sifat-sifat jaiz sebagaimana
umumnya manusia. Namun sifat-sifat manusiawi itu tidak membuat beliau
rendah di hadapan Allah Ta’ala.
Justru dengan adanya sifat manusiawi ini,
umatnya bisa meneladani Nabi dengan cara yang mudah. Sifat manusiawi
ini pula yang menjadi alasan terpancingnya emosi beliau ketika mendengar
kalimat yang tidak selayaknya diucapkan kepada seorang utusan Allah
Ta’ala.
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
adalah manusia juga,” tulis Syeikh Musthafa Dib Al-Bugha menerangkan
hadits ini dalam Syarh Riyadhus Shalihin Imam An-Nawawi, “terkadang ia
meluapkan emosi sebagaimana manusia lainnya, yang bisa marah, gembira,
dan lain sebagainya.”
Dalam emosinya, Nabi tetap terkendali.
Beliau langsung menyadarinya dalam hitungan detik. Beliau juga marah
hanya ketika ada aturan Allah Ta’ala yang dilanggar, bukan marah karena
nafsunya
Sumber : Kisahikmah.com
Komentar
Posting Komentar