Ada kalanya anak tumbuh tidak sesuai dengan harapan, suka
melawan, tak betah di rumah, pemalas, dan berbagai perangai buruk
lainya. Kondisi ini kerap memunculkan rasa sesal, bingung, dan kecewa
pada diri orangtua.
Ironisnya,
orangtua sering lupa bahwa hulu dari semua kekecewaan itu adalah diri
mereka sendiri. Saat sang buah hati hadir, kebanyakan orang menganggap
dirinya sedang mendapatkan “kado” dari Tuhan untuk bisa mereka nikmati.
Ia terlupa bahwa hakikatnya ia baru saja dibebani tugas, amanah, dan
ujian yang amat berat di pundaknya.
Tugas Mendidik
Allah swt berfirman, “Hai
orang-orang mu'min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang,” (QS At-Taghabun [64]: 14). Selaras dengan ayat ini, Satria Hadi Lubis MM, MBA, PhD, Cand, dai dan trainerpernikahan dan pengasuhan juga bertutur tegas, “Anak yang kurang taat menjadi ujian apakah orangtuanya sabar atau tidak.
Anak
yang shalih adalah amanah untuk dijaga agar tidak menjadi nakal. Anak
yang tidak shalih adalah amanah untuk dididik dengan benar. Anak yang
shalih adalah anugerah untuk bersyukur kepada Allah.” Karena itulah,
yang seharusnya pertama kali dipikirkan oleh orangtua saat dianugerahi
seorang anak bukanlah bagaimana membahagiakan anak itu tapi bagaimana
mendidiknya agar dapat memenuhi tujuan penciptaan, yaitu menjadi
penghamba kepada Allah dan pemakmur bumi (khalifah).
Untuk
bisa memenuhi tujuan ini hanya ada satu jalan, yaitu mendidiknya dengan
sungguh-sungguh. Prinsip utama yang harus dipegang oleh orangtua saat
mendidik, menurut Satria, adalah keteladanan. “Dalam mendidik, prinsip yang paling utama adalah memberikan keteladanan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw,” ujar pembicara yang juga aktif menulis buku-buku dakwah ini. “Adanya keteladanan,” tambahnya lagi, “Memang tidak menjamin anak otomatis menjadi shalih. Namun tanpa keteladanan akan lebih sulit lagi mendidik anak untuk menjadi shalih.”
Selanjutnya,
yang juga harus diperhatikan dalam mendidik adalah lebih banyak
memberikan “setoran” kebaikan daripada “penarikan” keburukan. “Setoran
kebaikan maksudnya bersikap positif pada anak, memberikan apresiasi,
bantuan sewajarnya, dan komunikasi dengan positif. Sedangkan penarikan
keburukan sebaliknya, lebih sering memberikan ancaman, kecaman, dan
hukuman yang membuat anak merasa sakit hati,” papar Satria.
Hadapi Ujian
Saat
ikhtiar dalam mendidik belum memperlihatkan hasil yang memuaskan, jangan
pernah berkata gagal. Karena kita tidak pernah tahu bagaimana cerita
hidup anak-anak kita akan ditutup. Hayatilah setiap kendala dan belum
tercapainya cita dalam mendidik sebagai sebuah ujian yang berpotensi
menaikkan derajat kita, terlepas dari apa pun hasilnya. Seperti yang
Satria katakan, “Sampai kapan pun anak tetap menjadi ujian, amanah, dan anugerah bagi orang tuanya. Ketika anak menjadi nakal maka orangtua harus menjalani ujian kesabaran.”
Ketika
anak menjadi ujian dengan berbagai permasalahannya, mungkin muncul rasa
nelangsa yang membuat kita terpuruk, merasa seperti orang paling
sengsara di dunia. Padahal, banyak orang yang diberi ujian serupa bahkan
jauh lebih berat, para nabi, misalnya. “Dari Mush’ab bin Sa’id dari ayahnya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau saw menjawab, “Para
Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan
diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat
(kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka
ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa
akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan
bersih dari dosa,” (HR Tirmidzi).
Maka,
kita lihat, bagaimana Nuh as diuji lewat putranya, Kan’an. Terekam juga
kisah Ya’qub as dengan anak-anaknya yang mencoba membunuh Yusuf as.
Serta Luth as yang dikhianati istri dan anaknya. Namun, apakah perilaku
anak-anak itu menurunkan derajat orangtua mereka? Tidak, ayah mereka
tetap menjadi Nabi yang mulia.
Jadi, fokus kita adalah bagaimana meneladani para utusan Allah itu. Di antara yang perlu diteladani antara lain:
- Tak henti menasihati
Jangan
pernah putus asa memberikan nasihat. Lihatlah Nuh as yang terus
menasihati sang anak hingga detik-detik terakhir ketika air bah
menenggelamkannya. Kekukuhan yang sama pun terlihat ketika Ya’qub dengan
lembut berkata pada anak-anaknya yang mencelakakan Yusuf as, “…Sebenarnya
hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan yang buruk itu. Maka
hanya bersabar itulah yang terbaik bagiku,..” (QS Yusuf [12]: 18).
- Maafkan anak
Allah telah memfirmankan dengan jelas pada surat At-Taghabun di atas, “Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”Pemaaf adalah karakter mutlak seorang dai, seperti yang tertera di surat Al-A’raf ayat 199, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” Sedangkan kita tahu, orangtua adalah dai bagi anak-anaknya.
- Koreksi diri
Koreksi
diri diperlukan karena setiap masalah sebenarnya tergantung bagaimana
seorang hamba menyikapinya. Setiap perubahan sikap ke arah yang lebih
positif dan diiringi kesungguhan doa, Insya Allah mendatangkan hasil
terbaik.
- Dekati Allah
Jadikanlah ujian pengasuhan itu sebagai bahan aduan kepada Allah. "Hai
orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka
itulah orang-orang yang merugi," (QS Al-Munafiqun [63]: 9).
Komentar
Posting Komentar