Al-Bashri dan Gadis Kecil
Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya.
Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tak lama setelah ia duduk
bersantai, lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di
bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil
terisak-isak. Rambutnya tampak kusust dan terurai, tak beraturan.
Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari
rumahnya dan turut dalam iring-iringan. Ia berjalan di belakang gadis
kecil itu.
Di antara tangisan gadis itu terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya.
“Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini.”
Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, “Ayahmu juga sebelumnya tak mengalami peristiwa seperti ini.”
“Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini.”
Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, “Ayahmu juga sebelumnya tak mengalami peristiwa seperti ini.”
Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan
dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya Al-Bashri duduk di teras
rumahnya. Sejurus kemudian, gadis kecil kemarin melintas ke arah makan
ayahnya. “Gadis kecil yang bijak,” gumam Al-Bashri. “Aku akan ikuti
gadis kecil itu.”
Gadis kecil itu tiba di makan ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik
pohon, mengamati gerak-geriknya secara diam-diam. Gadis kecil itu
berjongkok di pinggir gundukan tanah makam. Ia menempelkan pipinya ke
atas gundukan tanah itu. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata
yang terdengar sekali oleh Al-Bashri.
“Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap
gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan
lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih
kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam
aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah?
Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi
malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi
yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu
semalam, Ayah?”
“Kemarin malam aku yang menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti
engkau semalm, ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah
yang memperhatikan tadi malam Ayah? Kemarin malam kau memanggilku dan
aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi
malam Ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang
menyuapimu semalam, Ayah? kemarin malam aku memasakkan aneka macam
makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?”
Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tak tahan menahan
tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut
kata-kata gadis kecil itu.
“Hai, gadis kecil! jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah,
“Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu
atau telah berubah, Ayah? Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik,
masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercbik-cabik, Ayah? Kuletakkan
engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian,
atau cacing tanah telah menyantapmu, ayah?”
“Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang
menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau,
Ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah,
engkau tidak berdaya?”
“Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya
dengan kain kafan dari sorga atau dari neraka. Engkau mendapat kain
kafan dari mana, Ayah?”
“Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman sorga atau jurang menuju
neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau
terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah
engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?”
“Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak
memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan
maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena
amal baikmu yang sedikit, Ayah?”
“Jika kupanggil, engkau selelu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas
gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, Ayah?”
“Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga
hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku
dengan ayahku di akhirat nanti.”
Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata,
“Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah
kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai.”
Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.
Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka
Komentar
Posting Komentar