Foto: Middle East Eye
PERCERAIAN adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah. Bahkan Allah
mengancamnya dengan tidak memberikan surga pada wanita yang meminta
cerai pada suaminya. Ini selaras dengan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Beliau SAW bersabda, “Wanita mana saja yang minta cerai pada
suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Dawud:
2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283, dengan sanad hasan)
Adapun jika kondisi rumah tangga itu berubah, maka seorang wanita
dibolehkan meminta cerai dengan beberapa syarat dan ketentuan. Dikutip
dari kabarmuslimah.com, para ulama telah menyebutkan
perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta cerai dari
suaminya. Berikut penjelasnnya.
1. Apabila suami dengan sengaja dan jelas dalam perbuatan dan tingkah lakunya telah membenci istrinya, namun suami tersebut sengaja tidak mau menceraikan istrinya.
2. Perangai atau sikap seorang suami yang suka mendzalimi istrinya, contohnya suami suka menghina istrinya, suka menganiaya, mencaci maki dengan perkataan yang kotor.
3. Seorang suami yang tidak menjalankan kewajiban agamanya, seperti contoh seorang suami yang gemar
1. Apabila suami dengan sengaja dan jelas dalam perbuatan dan tingkah lakunya telah membenci istrinya, namun suami tersebut sengaja tidak mau menceraikan istrinya.
2. Perangai atau sikap seorang suami yang suka mendzalimi istrinya, contohnya suami suka menghina istrinya, suka menganiaya, mencaci maki dengan perkataan yang kotor.
3. Seorang suami yang tidak menjalankan kewajiban agamanya, seperti contoh seorang suami yang gemar
berbuat dosa, suka minum bir (khomr),
suka berjudi, suka berzina (selingkuh), suka meninggalkan shalat, dan
seterusnya.
4. Seorang suami yang tidak melaksanakan hak ataupun kewajibannya
terhadap sang istri.Seperti contoh sang suami tidak mau memberikan
nafkah kepada istrinya, tidak mau membelikan kebutuhan (primer) istrinya
seperti pakaian, makan dll padahal sang suami mampu untuk
membelikannya.
5. Seorang suami yang tidak mampu menggauli istrinya dengan baik,
seperti seorang suami yang cacat, tidak mampu memberikan nafkah batin
(jimak), atau jika dia seorang yang berpoligami dia tidak adil terhadap
istri-istrinya dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau, jarang,
enggan untuk memenuhi hasrat seorang istri karena lebih suka kepada yang
lainnya.
6. Hilangnya kabar tentang keberadaan sang sang suami, apakah
sang suami sudah meninggal atau masih hidup, dan terputusnya kabar
tersebut sudah berjalan selama beberapa tahun. Dalam salah satu riwayat
dari Umar Radhiyallahu’anhu, kurang lebih 4 tahun.[]
sumber : islampos.com
Komentar
Posting Komentar